Monday 15 August 2011

Macapat

Sekar Macapat |Durma Suragreged laras pelog pathet 6

DURMA SURAGREGED
Laras Pelog pathet Nem
 5       5        5        5      1       1   1       1   1      1     2 1   6 5
La – mun  sam - bat   pu - tra Pra - bu Da – sa – ra -  ta
 2         2      2     2 3   1    6 5 3   2 1
Pa - wong mi – tra - ne  ngu -   ni
   1     2 1     6      5         3     1 2
Ngu - di    keng  war – da - ya
 2   2   2    2      2 3     1      2
I -  ki   si   Da – sa – mu - ka
  6          6      6         6      6          6      6 1    6 5
Pang – ga – we - ning dhus - theng  bu -  mi
   1       1       1      2 1      6 5
Dyan kro - dha mang - krag
 3      3    3   2    2      3 2   1
Ki - rab lar a – nga – jri – hi

Geguritan


Iklan Berbahasa Jawa

 WARA-WARA (IKLAN)
wara-wara yaiku ngandharake sawijining bab marang wong akeh.

}Ngandharake sawijining bab marang wong liya bisa kanthi maneka cara, ana sing nganggo diomongke langsung, ana sing migunakake tulisan (brosur, ariwarti, kalawarti) lan ana kang disiarake lumantar radio, TV lan sarana liyane.
}Wara-wara sing tujuane aweh weruh marang wong akeh kanggo nawakake barang utawa jasa, diarani iklan
Ciri-cirine wara-wara (iklan)  
}Isine cekak aos
}Cetha (gamblang), narik kawigaten
}Gampang dimangerteni / dieling-eling
}Nawakake barang kang nyata
}Bisa dikantheni gambar (dagangane)
}ora ngala-ala produk liya
  
tuladha iklan 
 

Saturday 13 August 2011

Kajian Manuskrip


KAJIAN MANUSKRIP SERAT PATHAK
DISUSUN SEBAGAI UJIAN AKHIR SEMESTER
MATA KULIAH MANUSKRIP
Dosen Pembimbing : ARIS HIDAYAT, S.Pd
Oleh :
TAUFIK SUHARDI
082160299
Kelas B
Semester 5

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
2011

DAFTAR ISI
Halaman Judul ...............................................................................................
Daftar Isi ........................................................................................................
Bab I Pendahuluan
A.    Latar Belakang ...................................................................................
B.     Landasan Teori ...................................................................................
C.     Perumusan Masalah ...........................................................................
Bab II Pembahasan
A.    Transliterasi ......................................................................................
1.      Transliterasi Diplomatik .............................................................
2.      Transliterasi Orthografik ............................................................
B.     Etimologi ..........................................................................................
C.     Terjemahan .......................................................................................
D.    Kajian Isi ..........................................................................................
Bab III Kesimpulan
Kesimpulan…………………………………………………………...........
Daftar Pustaka
1
2

3
8
8

9
9
12
13
16
18

21
22




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai macam suku dengan keanekaragaman budaya. Hal tersebut yang menjadikan warna tersendiri sekaligus sebagai ciri khas dari bangsa yang berbudaya. Budaya itu masih tersimpan sampai sekarang, karena diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakatnya. Salah satu peninggalan masa lampau yang kita miliki adalah artefak yang berwujud material seperti bangunan candi, masjid, keraton, dan lain-lain. Selain itu, terdapat peninggalan yang berupa tulisan yang terdapat pada naskah dan prasasti. Sebagai salah satu peninggalan tertulis naskah kuna banyak memberikan informasi. Naskah lama merupakan rekaman khasanah kebudayaan yang mencerminkan kehidupan masa lampau. Naskah lama banyak menyimpan buah pikiran, perasaan, serta informasi masa lampau (Siti Baroroh Baried, 1985 : 55).
Naskah lama dari segi isi lebih banyak manjelaskan kejadian-kejadian masa lampau secara lengkap jika dibandingkan dengan peninggalan yang berupa fisik. Naskah juga akan lebih memudahkan dalam menerjemahkan informasi kegiatan kegiatan kebudayaan masa lampau. Namun demikian, keberadaan naskah sekarang ini menjadi barang yang langka, hal tersebut disebabkan semakin banyaknya orang yang tidak bisa membaca dan mempelajari naskah. Naskah lama menggunakan bahasa lampau yang sekarang ini jarang ditemui atau bahkan mungkin tidak dijumpai lagi di masyarakat, ini yang menyebabkan kesulitan dalam memahami isi naskah.
Bahan atau media yang digunakan untuk menulis naskah ada beberapa yaitu kertas, dluwang, nipah, kulit kayu, kulit binatang, bambu, dan daun lontar. Melihat dari bahan yang digunakan, maka naskah akan cepat rusak bila tidak dirawat dengan baik, juga karena faktor cuaca tropis yang makin membuat bahan-bahan tersebut mudah rusak. Naskah-naskah lama yang seharusnya jumlahnya melimpah menjadi semakin langka, hal ini juga disebabkan oleh bencana alam, perang dan juga pemusnahan naskah yang disengaja. Hal-hal tersebut yang menjadikan naskah menjadi barang yang langka dimasa sekarang ini, ditambah lagi masyarakat sekarang yang menjadikan naskah sebagai barang koleksi pribadi, sehingga keberadaanya sulit dilacak.
Keberadaan naskah lama tidak terlepas dari tradisi penyalinan naskah. Tradisi ini terjadi dikarenakan penyalin ingin memiliki naskah tersebut atau naskah yang asli sudah rusak, sehingga perlu dibuatkan salinan. Tradisi penyalinan naskah yang menyebabkan adanya varian-varian, sehingga diperlukan penanganan terhadap naskah-naskah tersebut. Hal itu merupakan tugas pokok filologi untuk menemukan naskah yang bersih dari kesalahan untuk disajikan kepada pembaca.
Salah satu naskah yang saya teliti adalah sebuah naskah Manuskrip yang berjudul “Serat Pathak”. Tersimpan di musium Sono Budoyo Yogyakarta dengan kode P186 Suluk Pathak saha Jangka Jaya Baya”, PB C.106 33 Bhs Jawa Aks Jawa Macapat Rol 153 no.7 tercatat dalam Katalog Induk naskah-naskah nusantara jilid 1 Musium Sonobudoyo Yogyakarta , disunting oleh Dr. T.E. Behrend.  Naskah babon dari serat Pathak ini adalah naskah dengan huruf pegon yang ditulis tahun 1885, kemudian disalin kedalam aksara jawa sekitar tahun 1930, yang salinanya tersimpan di Musium Sono Budoyo Yogyakarta. Seperti ditulis dalam Pupuh Sinom bait pertama dan kedua dalam Serat Pathak sebagai berikut
Suluk pathak namanira/ sastra pégon duk rumiyin
Terjemahan :
Suluk Pathak namanya / dahulunya adalah sastra pegon

Titimongsa ing panêrat dintênnira //sêtu pon tanggalira/ping sadasa wulanèki/rêjêp tahuN  jé harkannya/sèwu wolung ngatus luwih
Terjemahan :
Saat hari penulisanya//Setu pon/ tanggal sepuluh/ bulan Rajab/ tahun Je/ Surya sengkala 1800 lebih. Magsudnya, penyalinan naskah dimulai pada hari Sabtu Pon tanggal 10 bulan Rajab tahun Je, yaitu tahun Jawa yang menggunakan perhitungan matahari. Jika tahun Jawa saat itu tahun 1800an, berarti tahun masehinya sekitar 1930an.
Menurut Poerwadarminta, Kata “Pathak” bermakna 1. Baloeng tjoemploeng (tumrap kewan) yaitu tulang kepala untuk binatang 2. endhas atau kepala untuk manusia sebagai ungkapan kasar (1937 : 474). dalam bait ke2 baris ke 7 dan 8 tertulis “sang raja paţak nalika / dinnangu maraŋ ng NaBi /” menjelaskan bahwa Sang Raja Pathak ditanya oleh kanjeng Nabi. Jadi Pathak yang dimagsud dalam serat Pathak adalah seorang raja yang berwujud tengkorak saja. Clara Brakel-Papenhuyzen menamakan serat pathak sebagai “The  Javanesse Tale Of The Skull” yang diterjemahkan sebagai “Cerita Jawa tentang Seorang Tengkorak”. Selanjutnya disebutkan “Suluk Pathak (skull song) in macapat  verse, the content of which is comprised of the dialogue between the prophet Jesus and the skull of a king” (Suluk Pathak / Lagu Tengkorak dalam versi macapat, berisi percakapan Nabi Jesus dengan Raja Tengkorak) (Clara Brackel Papenhuyzen 2002:4).
Menurut Katalog Induk naskah-naskah nusantara jilid 1 Musium Sonobudoyo Yogyakarta , disunting oleh Dr. T.E. Behrend, Naskah terdiri dari dua teks yaitu
1.      Serat suluk pathak (1-18). Suatu piwulang dalam bentuk ceritera legenda. Menceritakan Raja Pathak yang mengutarakan semua pengalamanya di neraka, sewaktu ditanya oleh nabi Isa.
2.      Jangka jayabaya (18-33). Cuplikan ramalan jayabaya yang memuat kerangka sejarah Jawa, sejak datangnya orang-orang Ngrum untuk pertama kali mengisi pulau Jawa sampai dengan hari kiamat. Disebutkan bahwa ramalan tersebut merupakan ceritera dari Syeh Maulana Ngali Samsujen ketika bertemu dengan Prabu Jayabaya, sehingga dikenal sebagai ramalan Jayabaya. (1990:532)
Setiap lembar naskah Serat Pathak terdiri dari 23 baris dengan ukuran kertas 17 x 21,5cm dan ditulis dengan tinta hitam dalam buku tulis setebal 4mm bersampul tipis berwarna hijau lumut kecoklatan tanpa gambar. Jumlah halamanya 33  dengan tidak ada lembar lain diantara sampul dan isi, Ukuran spasi 0,5 cm, Margin kiri 4 cm, kanan 3,5 cm atas 1,7 cm bawah 2,2 cm. Bahasa yang digunakan bahasa Jawa. Mulai halaman ketiga, terdapat naskah yang rusak dan bolong, jadi penelitian hanya sampai pada halaman dua saja. Selain itu, tidak terdapat lembar lain diantara sampul dan isi. Jadi setelah sampul langsung isi. Tidak ditemukan nama pengarang ataupun nama dari penyalin naskah tersebut.
Serat Pathak dimulai dengan tembang sinom. Hal ini diketahui dari jumlah guru lagu setiap baitnya yaitu a, i, a, i, i, u, a, i, a. Karakteristik Tembang sinom adalah guru lagu dan guru wilanganya 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, dan 12a. Namun dari Serat Pathak tersebut ditemukan kesalahan dalam konvensi tembang macapat berkaitan dengan guru lagu dan guru wilangan tembang sinom. Dari sepuluh bait yang dikaji ternyata delapan bait ditemukan kesalahan konvensi guru wilanganya. Contohnya adalah dalam bait pertama baris ke 7, dalam kalimat mugya paringa aksama ( guru wilangan dan guru lagunya 8a, yang seharusnya 7a). Selain kesalahan konvensi tembang, juga ditemukan kesalahan penulisan seperti Kata “ngasar” dalam bait ke-3 baris ke-9 dalam kalimat “nèng ngisoring ngasar gènnira  hangêntas merupakan sebuah kesalahan penulisan. Kata “ngasar” bermakna “melakukan sholat Asar”. Seharusnya kata yang benar adalah “ngaras”  yang bermakna “singgasana Allah” seperti terdapat pada bait ke-4 baris ke-1 dan ke-3 dalam kalimat “dangu wontên ngisoring ngaras/kawula lênggah ningalli/ngisoring ngaras katingalDari beberapa kesalahan di atas dapat disimpulkan bahwa naskah ini bukan sebuah naskah yang bersih dari kesalahan.
Naskah Serat Pathak yang tersimpan di Musium Sono Budoyo bukan merupakan naskah tunggal, karena ternyata penulis menemukan sebuah pernyataan dalam artikel Clara Brakel-Papenhuyzen sebagai berikut :
A second manuscript of the text kept in Java is mentioned under the title Serat Raja Kepala (= Serat Patak) in Florida's catalogue of Javanese manuscript in the library of the kraton of Surakarta (Florida 1993:269)”(Clara B.P 2002:4)
            Dari pernyataan Clara tersebut menyebutkan bahwa “serat Pathak” juga terdapat di Perpustakaan Kraton Surakarta dan tercatat dalam Katalog Nancy K. Florida dengan judul Javanese language Manuscript of Surakarta Central Java a Preliminary Descriptive Catalogus.
Selain itu, ternyata naskah Serat Pathak Juga terdapat di Perpustakaan Universitas Leiden Negara Belanda. hal ini disebutkan dalam pernyataan Clara Brackel sebagai berikut :
Pigeaud's catalogue of Javanese manuscripts mentions one Manuscript containing the tale of the skull, entitled Serat Pathak utawi Serat Kabar Naraka (The book of the skull or the book of tidings from hell). This undated manuscript, kept as Lor 5769, in the Oriental MS collection of Leiden.University Library (came into the Library's possession in 1913)., was acquired by the Dutch missionary and scholar C. Poensen.”
Dari pernyataan tersebut menjelaskan bahwa penjajah Belanda mendapatkan naskah Serat Pathak dari Jawa yang kemudian disimpan di perpustakaan Universitas Leiden sejak tahun 1913 dengan kode Lor 5769.
Kajian serat pathak ini harus dilakukan secara lebih dalam lagi karena banyak sekali ditemukan permasalah yang membingungkan. Salah satunya adalah dalam artikel Clara Brakel disebutkan bahwa Serat Pathak dimulai dengan tembang Durma, padahal penulis jelas-jelas membuka lembar pertama Serat Pathak dan menemukan tembang sinom diawalnya. Ada kemungkinan salinan naskah Serat Pathak yang tersimpan ditempat satu dan yang lainya berbeda secara fisik, namun kandungan isinya sama.



B.     Landasan Teori
1.      Filologi adalah suatu pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti yang luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan dan kebudayaan. (siti Baroroh Baried  1:1985)
2.      Yang dimagsud dengan transliterasi adalah penggantian atau pengalihan huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain dengan mengikuti ejaan yang berlaku. (siti Baroroh Baried  65:1985).
3.      edisi diplomatik adalah naskah asli direproduksi fotografis. Dapat juga penyunting membuat transliterasi setepat-tepatnya tanpa menambah sesuatu (siti Baroroh Baried  65:1985)
4.      edisi standar, yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan, sedangkan ejaanya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. (Siti Baroroh Baried dalam Pengantar Teori Filologi 69:1985)
5.      Manuskrip atau handschrift adalah semua bahan tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan hasil budaya masa lampau (siti Baroroh Baried  54:1985)
6.      Etymology berarti sebuah ilmu asal kata (John ME dan Hasan S. 1996:219)
7.      Semua ilmu mempunyai objek penelitian. Objek kajian filologi adalah naskah dan teks. (Siti Baroroh Baried  3:1985)


C.    Perumusan Masalah
Dikarenakan setiap mahasiswa hanya meneliti minimal 3 bait tembang saja, maka penulis hanya meneliti sekitar 10 bait saja agar penulis mengetahui sedikit saja magsud dari naskah tersebut. Hal yang akan dikaji dalam analisis naskah manuskrip berjudul “Serat Pathak” ini adalah sebagai berikut :
1.      Transliterasi diplomatis dan orthografis
2.      Etimologi
3.      Terjemahan
4.      Kajian isi

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Transliterasi
Tujuan utama filologi adalah pengalih-aksaraan suatu teks agar dapat dibaca oleh pembaca masa kini. Pengalih-aksaraan (transliterasi) adalah pengubahan suatu sistem aksara berikut ejaan dan tanda-tandanya ke sistem aksara yang lain. Oleh karena aksara yang digunakan dalam naskah merupakan aksara ang kemungkinan sekali sudah tidak dikenali pembaca masa kini. Yang dimagsud dengan transliterasi adalah penggantian atau pengalihan huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain dengan mengikuti ejaan yang berlaku. (siti Baroroh Baried  65:1985). Hal ini sependapat dengan pernyataan Robson dalam Prinsip-prinsip Filologi Indonesia bahwa Transliterasi adalah pemindahan dari satu tulisan ke tulisan yang lain (24:1994).
Ada dua macam alih aksara, yakni edisi diplomatik dan edisi standar (orthografik) dengan penjabaran sebagai berikut
1.      Transliterasi Diplomatik
Siti Baroroh Baried dalam pengantar Teori Filologi (69:1985) menyebutkan, bahwa edisi diplomatik yang baik adalah hasil pembacaan yang diteliti oleh seorang pembaca yang ahli dan berpengalaman, dalam bentuknya yang paling sempurna, edisi diplomatik adalah naskah asli direproduksi fotografis. Dapat juga penyunting membuat transliterasi setepat-tepatnya tanpa menambah sesuatu. Jadi dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan, Transliterasi Diplomatik adalah penggantian atau pengalihan huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain sesuai dengan naskah, tanpa mengurangi atau menambah, dan mengubah struktur penulisan.
Berikut ini adalah wujud transliterasi diplomatik atas naskah “Serat Pathak” hasil penelitian naskah yang terdapat di Musium Sono Budoyo :
Pan kadya haŋros niŋ kapal/
kakocap caritannèki /Suluk paţak namannira / sa
stra pégon duk rumiyin/ saŋkiŋ kasêŋsêm nèki / dadya
sinurat jawèku/ mugya pariŋnga haksama/ ḑumatêŋ kaŋ kaṛ
ya tulis/ Titimoŋsa hiŋ pannêrat dintênnira // sêtu po
n taŋgallira / piŋ sadasa wulannèki / rêjêp tahuN  jé haṛka
nnya / sèwu woluŋ ngatus luwiḥ / kawan wêlas winnilis/ gi
nnanti caritannipun/ saŋ raja paţak nalika / dinnangu maraŋ
jêŋ NaBi / ngisa nalikanné nèng nêrraka // kawula
matuṛ riŋ tuwan/ NaBi ngisa kaŋ linuwiḥ / duk kala
nné nèŋ naraka:/ pintên pintên tahun gusti:/ laminné ha
wak mammi:/ hanéŋ jronniŋ gêni murub/ saksana dipu
nnêntas/ ḑatêŋ malékat kakaliḥ / néŋ ngisoṛriŋ ngaras
génnira  hangéntas // daŋngu wontên ngisoṛriŋ ngaras
kangula lêŋgaḥ niŋngalli /ngisoṛriŋ ngaras katiŋngal/
wontên kuṛsi marik marik/ Pinnatik hintên bummi/
miraḥ habaŋ miraḥ wuŋngu/ kuṛsi hamuŋ sakawan/
hiŋ têŋngên kuṛsi satuŋgil/ hiŋ kiwanné satuŋgil kuṛsi
punnika // hiŋ ngajêŋ ngaras satuŋgal/ Hiŋ wiŋkiŋ kuṛ
sinné kaliḥ /kalangkuŋ jêmbaṛ jêmbaṛ/ papahéssan waṛni
waṛni / yèn jinnon   balêṛrêŋngi / tiŋ karêtèp tiŋ pallancuṛ /
kawula hatêtanña / sintên hiŋkang dèn cahossi /
hiŋgiḥ kuṛsi sakawan kaŋ héndaḥ héndaḥ// suma

2
huṛ kaŋ tinnakonan/ hiŋkaŋ dén cahossi kuṛsi/sêkawa
n kaŋ héndaḥ héndaḥ / sawiji NaBi IbraIm/ Lawan sawiji
nné maliḥ/  kakasiḥhira yyaŋ ngaguŋ / wasta NaBi mukamad,
wêkassanné para NaBi / panuttanné tiyaŋ hiŋ sangalam do
nya// hana dénné kaŋ satuŋgal/ hiŋkaŋ dipun caho
ssi kuṛsi/ NaBi muSa kaŋ satuŋgal/ putranné ngimram linu
wiḥ/  kuṛsi kalaŋkuŋ hadi /papahéssan habra murub/
pinnatik nawa rêtna / gêbyaṛ-gebyaṛ balêrêŋngi / jangkêppipun
sakawan kuṛsi punnika// kawula takén kaŋ gaḑaḥ /
ḑatêŋ malékat gusti / jangkep kuṛsi sakawan/ kaŋ tiga wo
ntên gaḑaḥhi / mung kantun satuŋgil / punika kaŋ maksiḥ suwuŋ/
déréŋ wontên kaŋ gaḑah / nuntên kawula takén malih / hiŋ maléka
t punnika sintên kaŋ gaḑaḥ// jaŋkêp kuṛsi sakawan/ punnika
sintên gaḑaḥhi /  sahuṛripun malahikat/ NaBi ngisa rumulla
hi /naŋngiŋ ta déréng prapti / hiŋ bénjaŋ lamun  wus kunduṛ /punnika caho
ssanña/ kuṛsi sêkawan punniki/ tannantara kawula maliḥ
binnakta // dén galanḑaŋ malahékat/ binêktéŋ naraka
maliḥ / kalaŋkuŋ dénné masakat/ Jabaniyaḥ mêmêdénni /
hiŋkaŋ gérét wak mami / kawula binêktéŋ gêbyuṛ wontên nglêbê
t nêṛraka/ kawula nuntên nyakari/ rahi hamba kawula cakaṛ
piyambak



2.      Transliterasi Orthografik :
Transliterasi Orthografik adalah penggantian atau pengalihan huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain dengan diubah, ditambah atau dikurangi menurut ejaan yang berlaku, dibetulkan kesalahan-kesalahanya dan ditertibkan susunanya. Siti Baroroh Baried dalam Pengantar Teori Filologi (69:1985) berpendapat sama namun menamakanya sebagai edisi standar, yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan, sedangkan ejaanya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.
Berikut ini adalah wujud transliterasi orthografis atas naskah “Serat Pathak” pupuh 1 Sinom bait 1 sampai dengan 10 hasil penelitian naskah yang terdapat di Musium Sono Budoyo :
//Pan kadya hangrosning kapal/kakocap caritanèki/ Suluk pathak namanira/ sastra pégon duk rumiyin/ sangking kasêngsêm nèki/ dadya sinurat jawèku/ mugya paringa aksama/ dhumatêng kang karya tulis/Titimongsa ing panêrat dintênnira
//sêtu pon tanggalira/ping sadasa wulanèki/rêjêp tahuN  jé harkannya/sèwu wolung ngatus luwih/kawan wêlas winilis/ginanti caritanipun/ sang raja pathak nalika/dinangu marang jêng NaBi/ ngisa nalikanné nèng nêraka
//kawula matur ring tuwan/ NaBi ngisa kang linuwih/duk kalanné nèng naraka/pintên pintên tahun gusti/laminné hawak mammi/ hanèng jronning gêni murub/ Saksana dipun êntas/Dhatêng malékat kakalih/nèng ngisoring ngasar gènnira  hangêntas
//dangu wontên ngisoring ngaras/kawula lênggah ningalli/ngisoring ngaras katingal/wontên kursi marik marik/ Pinnatik intên bummi/mirah abang mirah wungu/ kursi amung sakawan/ing têngên kursi satunggil/ ing kiwané satunggil kursi punika
//ing ngajêng ngaras satunggal / ing wingking kursiné kalih/ kalangkung jêmbar jêmbar/ papaèsan warni warni/yén jinnon   balêrêngi / ting karêtèp ting pallancur/kawula atêtannya /sintên ingkang dèn caosi /inggih kursi sakawan kang éndah éndah
//sumaur kang tinakonan/ingkang dèn caosi kursi/ sekawan kang éndah éndah /sawiji NaBi IbraIm/ Lawan sawijiné malih/kakasih ira yang agung/ wasta NaBi mukamad/wêkasanné para NaBi/panutané tiyang ing sangalam donya
//ana déné kang satunggal/ ingkang dipun caosi kursi/NaBi muSa kang satunggal/putrané ngimram linuwih/ kursi kalangkung adi/papaésan habra murub/pinnatik nawa rêtna/ gêbyar-gêbyar balêrêngi/jangkêppipun sakawan kursi punnika
 //kawula takèn kang gadhah/dhatêng malékat gusti/ jangkêp kursi sakawan/ kang tiga wontên gadhahi/ mung kantun satunggil/ punika kang maksih suwung/ dèrèng wontên kang gadhah/nuntên kawula takén malih/ ing malékat punnika sintên kang gadhah
//jangkêp kursi sakawan / punnika sintên gadhahi /  sauripun malaékat / NaBi ngisa rumullahi/ nanging ta déréng prapti / ing bénjang lamun  wus kundur / punika caosannya / kursi sêkawan puniki / tannantara kawula malih binnakta
//dèn galandhang malaékat/ binêktèng naraka malih/kalangkung déné masakat/ Jabaniyah mêmêdèni/ingkang gèrèt wak mami/ kawula binêktèng gêbyur/ wontên nglêbet nêrraka/kawula nuntên nyakari/rai hamba kawula cakar piyambak
B.     Etimologi Kata
Etimologi adalah ilmu linguistik yang menkaji asal-usul kata. Etimologi berasal dari bahasa Inggris  Etymology berarti sebuah ilmu asal kata (John ME dan Hasan S. 1996:219). Etimologi mencakup asal-usul kata, bahasa, perubahan kata yang mengakibatkan perubahan arti ketika mendapatkan proses morfologi  ataupun mengalami penggabungan dari kata yang lain. Begitu pula kata yang terdapat dalam tembang macapat. Tembang macapat harus mematuhi guru lagu dan guru wilangan, sehingga pengarang harus menyingkat ataupun mengubah vokal di akhir baris. Hal ini tentu saja akan menyulitkan penerjemah. Maka untuk membantu penerjemahan kata yang tepat, perlu diketahui dulu asal-usul katanya. Berikut adalah etimologi  kata atas naskah Serat Pathak :

1.      Pan = djer, dan
2.      kadya = bagaikan
3.      hangros = haN + ros = meruas (penulis belum menemukan makna dari meruas disini, mungkin meruas dalam “bagai meruas di kapal” yang dimagsud adalah bagaikan seorang pencerita di kapal)
4.      kakocap = terkisahlah
5.      caritanneki = carita+neki = ceritaku
6.      namannira = nama + nira = namanya
7.      kasengsem = terpesona
8.      neki  = ku, nya
9.      dadya = menjadi
10.  sinurat = (in)+surat = tertulis
11.  jawéku = jawaku (yang dimagsud disini adalah aksara saya / aksara Jawa)
12.  mugya = semoga
13.  paringnga = diberikanlah
14.  haksama = maaf, ampunan
15.  Titimongsa = masa, waktu
16.  pannêrat = penulisan
17.  dintênnira =dinten+ira = harinya
18.  wulannéki = bulanya
19.  harkannya = harka+ nya = harka=arka (kawi=srengenge/ matahari) arka yang dimagsud disini adalah matahari yang dalam bahasa jawa disebut surya. Harkanya berarti mataharinya. Matahari bukan berarti matahari dalam arti sebenarnya namun berarti “surya sengkala” atau perhitungan berdasarkan matahari, tahun 1800an.
20.  Winnilis = (in)+wilis = wilang =hitung. Winilis berarti terhitung
21.  ginnanti = (in)+ganti = berganti
22.  dinnangu = (in) + dangu = ditanya
23.  linuwih = (in)+luwih = melebihi. Melebihi orang biasa, atau lebih sakti
24.  duk kalanné = duk = nalika, ketika; kala+ne= kala=mangsa, waktu
25.  hanéng = hana /ana + ing =berada di
26.  Saksana = enggal, tumuli, segera
27.  génnira  = anggen ira = anggonmu =olehmu, olehnya
28.  hangéntas = ha(N)+entas = mengangkat keatas
29.  ngaras = singgasana Allah
30.  kangula = kawula = saya